-->



Theme Layout

Theme Translation

Trending Posts Display

"No"

Home Layout Display

Posts Title Display

"No"

404

We Are Sorry, Page Not Found

Home Page

Foto: Bus Sumber Kencono di Terminal Giwangan Jogja. Foto: MSY/writeitmagazine

“Beneran naik Sumber Kencono? Bukannya bus itu ugal-ugalan, ya? Kok berani sih naik Sumber Kencono? Kenapa ngga naik kereta api aja?” 

Serentetan pertanyaan dan reaksi keheranan kerap saya terima ketika ditanya menggunakan moda transportasi apa untuk pulang kampung. Dengan menjawab “naik bus” saja sudah menimbulkan pertanyaan yang lebih menyerupai penghakiman berupa: “Kenapa gak naik kereta api aja sih? Kan lebih cepat dan enak”, apalagi jika disertai embel-embel ‘Naik bus Sumber Kencono”. Panjang sudah urusannya.

Mendengar nama Sumber Kencono, barangkali yang terlintas di benak kebanyakan orang adalah kesan ngebut, ugal-ugalan, serta deretan peristiwa kecelakaan. Tak dipungkiri, salah satu armada bus ekonomi Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dengan trayek Surabaya-Yogyakarta ini pernah punya serangkaian catatan merah dalam dunia transportasi umum. Pelbagai meme pun bertebaran di dunia maya mengenai kenekatan sang pemacu adrenalin.

Sebenarnya nama Sumber Kencono sudah tak lagi digunakan. Armada bus yang satu ini sekarang bernama P.O Sugeng Rahayu setelah sebelumnya sempat berganti nama menjadi Sumber Selamat. Pergantian nama tersebut dilakukan guna menghilangkan kesan negatif akibat kecelakaan yang sering terjadi.

Sayangnya, nama Sumber Kencono terlanjur melekat di benak masyarakat sepaket dengan stigma buruknya. Kesan negatif mulai terbentuk pada tahun 2009 hingga 2011. Dalam rentang waktu tersebut armada bus ini sering terlibat kecelakaan lalu lintas. ‘Sumber Bencono’ sebagai plesetan namanya kerap dilontarkan sebagai sindiran, bahkan dijadikan bahan guyonan hingga sekarang.

Rupa-rupa benci cinta Sumber Kencono

Terlepas dari berbagai kejadian kelam yang dulu acap kali dialami bus ini, telah lebih dari satu dekade saya menjadi pelanggan setianya. Perubahan yang signifikan pun saya rasakan dalam rentang waktu tersebut. Meskipun kadang masih ada yang kebut-kebutan, namun frekuensinya tak sesering dan semenyeramkan dulu.

Suara klakson dibarengi dengan rem mendadak hampir tak pernah absen dilakukan kala itu. Jarak tipis dan banting stir ketika sedang menyalip serta berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan juga jadi pemandangan biasa. Apalagi saling berlomba dengan “P.O sebelah”, sudah sangat lumrah. Untaian doa dan kalimat permohonan ampun sambil memejamkan mata pun tak pernah luput diucapkan. Kalau sudah begitu, jangan harap bisa istirahat dengan tidur nyenyak selama perjalanan. Yang ada kadar keimanan serasa bertambah dan mendadak berubah menjadi sangat religius.

Satu lagi, seingat saya dulu selalu disediakan setumpuk kantong plastik yang digantung di bagian depan bus. Kantong tersebut bisa digunakan secara gratis untuk mengantisipasi jika ada penumpang yang mual dan ingin muntah. Dahulu saya juga selalu menyediakan kantong plastik sendiri sebelum berangkat naik bus. Meskipun selama itu hanya terpakai sekali—kala sang pengemudi Sumber Kencono ugal-ugalan melewati jalanan ringroad Madiun yang berkelok-kelok, dan ternyata kantong plastik yang saya bawa bocor. Untuk adegan konyol ini baiknya tak perlu dibayangkan.

Rasanya beberapa tahun belakangan saya sudah tak pernah lagi menemukan kantong plastik disediakan di dalam bus Sumber Kencono. Bisa jadi karena sekarang P.O yang satu ini memang tak lagi seugal-ugalan dulu atau mungkin dalam rangka penghematan biaya. Apapun alasannya, tanpa sadar saya juga sudah tak pernah repot mencari kantong plastik hitam sebelum pulang naik bus Sumber Kencono. Entah sejak kapan.

Trayek dan harga karcis bus Sumber Kencono

Sebenarnya trayek P.O Sumber Kencono ekonomi tak hanya Surabaya-Yogyakarta (Surabaya-Madiun-Solo-Yogyakarta). Ada dua trayek lain, yaitu Surabaya-Madiun-Solo-Wonogiri dan Surabaya-Caruban-langsung Ngawi-Solo-Semarang. Bahkan sudah ada juga bus Patas (Cepat dan Terbatas), versi eksekutif dari bus Sumber Kencono yang melayani trayek kota-kota besar dari Provinsi Jawa Timur hingga Provinsi Jawa Barat. Selain tentu beda harga tiket dan fasilitas, waktu keberangkatannya pun berbeda. Jika dalam waktu satu jam kamu bisa menemukan beberapa bus ekonomi Sumber Kencono yang lewat, tidak demikian dengan bus patas yang waktu keberangkatannya hanya terjadi pada jam-jam tertentu.

Dalam rentang lebih dari satu dekade ini saya hanya pernah mencoba satu trayek Surabaya-Yogyakarta dengan dua arah berbeda, Surabaya-Maospati dan Yogyakarta-Maospati. Saya tak terlalu ingat harga pasti karcis Surabaya-Maospati, namun tak beda jauh dengan harga karcis Yogyakarta-Maospati yang sebesar Rp 29 ribu untuk ekonomi. Jarak yang ditempuh kedua arah tersebut relatif sama, beda karcisnya pun tak akan lebih dari Rp 5 ribu. Sedangkan untuk patas Yogyakarta-Maospati harganya Rp 50 ribu.

Potongan harga karcis untuk bus ekonomi juga bisa didapatkan jika memiliki Kartu Langganan (KL). Dahulu saya mendapatkan KL yang sering dibagikan secara cuma-cuma oleh kru Sumber Kencono, namun agaknya sekarang hampir tak pernah lagi memperolehnya. KL ini hanya berlaku jika kamu menunjukkannya di depan sebelum membayar karcis. Jika sudah menyerahkan uang dan baru bilang, biasanya akan ditolak.

Jika tak membawa KL, ketika ditanyai tujuan oleh kondektur langsung jawab dengan misalnya, “Jogja, KL” atau “KL, Jogja”. Tanpa menunjukkan KL, kondektur langsung paham dan tak akan memintamu menunjukkan fisik KL. Untuk trayek yang pernah saya naiki, biasanya akan dipotong sebesar Rp 2 ribu. Namun KL tak berlaku saat Hari Raya dengan batasan H-7 sampai dengan H+7.

Satu hal yang perlu dicatat ketika naik bus ini, simpan karcis dan jangan pernah buang sebelum sampai di tempat tujuan. Terkadang kondektur akan memintamu menunjukkan tiket untuk pemeriksaan. Ini karena ada beberapa penumpang yang ‘nakal’ dengan tidak turun di tujuan yang disebutkan saat membayar karcis. Jika karcis hilang kemungkinan kamu akan diminta membayar kembali atau lebih buruk diturunkan dari bus.

Foto: Bus Sumber Kencono Patas. Foto: MSY/writeitmagazine

Ragam cerita dalam bus Sumber Kencono

Lebih dari satu dekade menjadi penumpang setia bus Sumber Kencono, kemampuan saya bertambah. Jika dulu susah sekali menyeimbangkan badan ketika duduk maupun berdiri dalam bus, sekarang saya cukup mahir melakukannya. Berbagai manuver yang sering dilakukan bus kala melewati tikungan maupun menyalip tak sepenuhnya mengganggu tidur. Tangan sigap mencari pegangan dan kaki refleks menahan saat terjadi guncangan.

Tak hanya tidur dalam duduk, tidur dengan posisi berdiri pun niscaya bisa dilakukan seiring bertambahnya jam terbang. Apalagi jika kondisi bus sudah penuh mulai dari pertama naik sampai tujuan akhir. Tak tersedia bangku kosong dan rasa lelah mengusir segala ketidakmungkinan. Yang terpenting adalah sampai tujuan tepat waktu.

Berada dalam bus ini pun dapat menambah pengetahuan dari dunia musik, khususnya musik dangdut, lebih spesifiknya dangdut koplo. Sepanjang perjalanan penumpang akan disuguhi suara merdu dan goyang biduan dalam layar TV kecil di bagian depan bus. Album yang diputar didominasi milik grup musik kenamaan dari Provinsi Jawa Timur, seperti New Pallapa dan Om Sera. Lagu-lagu dari penyanyi sekaliber Didi Kempot, Nella Kharisma, dan Via Vallen juga jarang absen dalam menemani perjalanan P.O Sumber Kencono.

Lagu-lagu menyayat hati dari para penyanyi tersebut sangat mengakomodir seseorang yang sedang mengalami patah hati. Setidaknya bisa sejenak melampiaskan kesedihan di tengah deru bus sambil memandang ke luar jendela. Atau sesenggukan sambil menatap nanar anak-anak hewan kecoak yang berjalan dengan santainya di sela-sela kursi depan.

Tak jarang suara musik akan dimatikan ketika ada musisi jalanan mulai bernyanyi atau membaca puisi. Selain penumpang mendapat hiburan dalam bentuk lain, ada rasa saling menghargai antara kru bus dan musisi jalanan. Biasanya mereka akan mengucapkan terima kasih terhadap kru bus yang telah mengizinkannya berdendang di sana.

Percakapan menarik pun kerap ditemukan dalam bus ini. Seperti cerita mengenai ‘Jokowi’. Saat bus kebetulan sampai di Solo, kondektur bus tiba-tiba menyapa seorang penumpang di lajur sebelah saya yang ternyata adalah temannya. Penumpang tersebut menanyakan apakah sang kondektur diundang ke acara pernikahan anak dari Jokowi (kebetulan saat itu belum lama berlangsung acara pernikahan anak perempuan Presiden Jokowi di Solo). Sang kondektur tertegun sambil menjawab bahwa ia bukan siapa-siapa dan tak mungkin diundang oleh presiden. Lalu penumpang itu menimpali jika Jokowi yang dimaksud adalah adik teman sang kondektur, bukan Presiden Joko Widodo. Tawa keduanya pun pecah dalam bus yang baru saja keluar dari terminal.

Pernah suatu ketika sudah mendekati Yogyakarta, sang kernet tiba-tiba berteriak jika di kursi belakang ada perempuan yang pingsan. Sang supir langsung menghentikan laju bus di depan puskesmas, dan kondektur cekatan menggotong perempuan yang pingsan ke dalam puskesmas. Kerja sama apik semacam ini pun akan kerap ditemukan dalam perjalanan.

Para kru juga akan saling menyapa jika berpapasan dengan bus lain dari P.O yang sama. Jika siang hari, sang supir biasanya akan melambai ke depan. Sedangkan saat malam hari, sang kernetlah yang melambaikan tangan sambil memegang ponsel dengan kondisi lampu layar menyala.

Seburuk apapun stigma yang melekat pada armada bus yang satu ini, mereka telah menemani saya pada masa-masa suka, duka, dan mengantarkan saya pulang guna meredam kerinduan yang tak kenal waktu. Mau seperti apa orang “mengatainya”, sampai sekarang bus ini masih menjadi pilihan utama saya ketika pulang. Mungkin juga menjadi pilihan banyak orang dari pelbagai rentang usia yang memerlukan moda transportasi dengan harga karcis terjangkau, mudah ditemukan, dan cepat sampai tujuan. Semoga selanjutnya makin minus ugal-ugalan.

(MSY/OTK)

Leave A Reply