Foto: Bus Sumber Kencono di Terminal Giwangan Jogja. Foto: MSY/writeitmagazine |
“Beneran naik Sumber Kencono? Bukannya bus itu ugal-ugalan, ya? Kok berani sih naik Sumber Kencono? Kenapa ngga naik kereta api aja?”
Serentetan pertanyaan dan reaksi keheranan kerap saya terima ketika
ditanya menggunakan moda transportasi apa untuk pulang kampung. Dengan menjawab
“naik bus” saja sudah menimbulkan pertanyaan yang lebih menyerupai penghakiman berupa:
“Kenapa gak naik kereta api aja sih? Kan lebih cepat dan enak”, apalagi jika disertai
embel-embel ‘Naik bus Sumber
Kencono”. Panjang sudah urusannya.
Mendengar nama Sumber Kencono, barangkali yang terlintas di benak kebanyakan
orang adalah kesan ngebut, ugal-ugalan, serta deretan peristiwa kecelakaan. Tak
dipungkiri, salah satu armada bus ekonomi Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dengan
trayek Surabaya-Yogyakarta ini pernah punya serangkaian catatan merah dalam
dunia transportasi umum. Pelbagai meme pun bertebaran di dunia maya mengenai kenekatan
sang pemacu adrenalin.
Sebenarnya nama Sumber Kencono sudah tak lagi digunakan. Armada bus yang satu
ini sekarang bernama P.O Sugeng Rahayu setelah sebelumnya sempat berganti nama
menjadi Sumber Selamat. Pergantian nama tersebut dilakukan guna menghilangkan
kesan negatif akibat kecelakaan yang sering terjadi.
Sayangnya, nama Sumber Kencono terlanjur melekat di benak masyarakat
sepaket dengan stigma buruknya. Kesan negatif mulai terbentuk pada tahun 2009
hingga 2011. Dalam rentang waktu tersebut armada bus ini sering terlibat kecelakaan
lalu lintas. ‘Sumber Bencono’ sebagai plesetan namanya kerap dilontarkan
sebagai sindiran, bahkan dijadikan bahan guyonan hingga sekarang.
Rupa-rupa benci cinta Sumber
Kencono
Terlepas dari berbagai kejadian kelam yang dulu acap kali dialami bus ini,
telah lebih dari satu dekade saya menjadi pelanggan setianya. Perubahan yang
signifikan pun saya rasakan dalam rentang waktu tersebut. Meskipun kadang masih
ada yang kebut-kebutan, namun frekuensinya tak sesering dan semenyeramkan dulu.
Suara klakson dibarengi dengan rem mendadak hampir tak pernah absen
dilakukan kala itu. Jarak tipis dan banting stir ketika sedang menyalip serta
berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan juga jadi pemandangan biasa. Apalagi
saling berlomba dengan “P.O sebelah”, sudah sangat lumrah. Untaian doa dan
kalimat permohonan ampun sambil memejamkan mata pun tak pernah luput diucapkan. Kalau sudah begitu, jangan harap bisa istirahat
dengan tidur nyenyak selama perjalanan. Yang ada kadar keimanan serasa
bertambah dan mendadak berubah menjadi sangat religius.
Satu lagi, seingat saya dulu selalu disediakan setumpuk kantong plastik yang
digantung di bagian depan bus. Kantong tersebut bisa digunakan secara gratis
untuk mengantisipasi jika ada penumpang yang mual dan ingin muntah. Dahulu saya
juga selalu menyediakan kantong plastik sendiri sebelum berangkat naik bus. Meskipun
selama itu hanya terpakai sekali—kala sang pengemudi Sumber Kencono ugal-ugalan
melewati jalanan ringroad Madiun yang
berkelok-kelok, dan ternyata kantong plastik yang saya bawa bocor. Untuk adegan
konyol ini baiknya tak perlu dibayangkan.
Rasanya beberapa tahun belakangan saya sudah tak pernah lagi menemukan kantong
plastik disediakan di dalam bus Sumber Kencono. Bisa jadi karena sekarang P.O yang
satu ini memang tak lagi seugal-ugalan dulu atau mungkin dalam rangka
penghematan biaya. Apapun alasannya, tanpa sadar saya juga sudah tak pernah
repot mencari kantong plastik hitam sebelum pulang naik bus Sumber Kencono.
Entah sejak kapan.
Trayek dan harga karcis bus Sumber
Kencono
Sebenarnya trayek P.O Sumber Kencono ekonomi tak hanya Surabaya-Yogyakarta
(Surabaya-Madiun-Solo-Yogyakarta). Ada dua trayek lain, yaitu
Surabaya-Madiun-Solo-Wonogiri dan Surabaya-Caruban-langsung Ngawi-Solo-Semarang. Bahkan sudah ada juga bus Patas
(Cepat dan Terbatas), versi eksekutif dari bus Sumber Kencono yang melayani
trayek kota-kota besar dari Provinsi Jawa Timur hingga Provinsi Jawa Barat. Selain
tentu beda harga tiket dan fasilitas, waktu keberangkatannya pun berbeda. Jika
dalam waktu satu jam kamu bisa menemukan beberapa
bus ekonomi Sumber Kencono yang lewat, tidak demikian dengan bus patas yang waktu
keberangkatannya hanya terjadi pada jam-jam tertentu.
Dalam rentang lebih dari satu dekade ini saya hanya pernah mencoba satu
trayek Surabaya-Yogyakarta dengan dua arah berbeda, Surabaya-Maospati
dan Yogyakarta-Maospati. Saya tak terlalu ingat harga pasti karcis
Surabaya-Maospati, namun tak beda jauh dengan harga karcis Yogyakarta-Maospati yang sebesar Rp 29 ribu untuk
ekonomi. Jarak yang ditempuh kedua arah tersebut relatif sama, beda karcisnya pun
tak akan lebih dari Rp 5 ribu. Sedangkan untuk patas Yogyakarta-Maospati harganya Rp 50 ribu.
Potongan harga karcis untuk bus ekonomi juga bisa didapatkan jika memiliki
Kartu Langganan (KL). Dahulu saya mendapatkan KL yang sering dibagikan secara cuma-cuma
oleh kru Sumber Kencono, namun agaknya sekarang hampir tak pernah lagi memperolehnya. KL ini hanya berlaku jika kamu menunjukkannya di depan sebelum
membayar karcis. Jika sudah menyerahkan uang dan baru bilang, biasanya akan
ditolak.
Jika tak membawa KL, ketika ditanyai tujuan oleh kondektur langsung jawab
dengan misalnya, “Jogja, KL” atau “KL, Jogja”. Tanpa menunjukkan KL, kondektur
langsung paham dan tak akan memintamu menunjukkan fisik KL. Untuk trayek yang
pernah saya naiki, biasanya akan dipotong sebesar Rp 2 ribu. Namun KL tak berlaku saat Hari Raya dengan batasan
H-7 sampai dengan H+7.
Satu hal yang perlu dicatat ketika naik bus ini, simpan karcis dan jangan
pernah buang sebelum sampai di tempat tujuan. Terkadang kondektur akan
memintamu menunjukkan tiket untuk pemeriksaan. Ini karena ada beberapa
penumpang yang ‘nakal’ dengan tidak turun di tujuan yang disebutkan saat
membayar karcis. Jika karcis hilang kemungkinan kamu akan diminta membayar
kembali atau lebih buruk diturunkan dari bus.
Foto: Bus Sumber Kencono Patas. Foto: MSY/writeitmagazine |
Ragam cerita dalam bus Sumber Kencono
Lebih dari satu dekade menjadi penumpang setia bus Sumber Kencono,
kemampuan saya bertambah. Jika dulu susah sekali menyeimbangkan badan ketika
duduk maupun berdiri dalam bus, sekarang saya cukup mahir melakukannya. Berbagai
manuver yang sering dilakukan bus kala melewati tikungan maupun menyalip tak sepenuhnya
mengganggu tidur. Tangan sigap mencari pegangan dan kaki refleks menahan saat
terjadi guncangan.
Tak hanya tidur dalam duduk, tidur dengan posisi berdiri pun niscaya bisa
dilakukan seiring bertambahnya jam terbang. Apalagi jika kondisi bus sudah penuh
mulai dari pertama naik sampai tujuan akhir. Tak tersedia bangku kosong dan
rasa lelah mengusir segala ketidakmungkinan. Yang terpenting adalah sampai
tujuan tepat waktu.
Berada dalam bus ini pun dapat menambah pengetahuan dari dunia musik,
khususnya musik dangdut, lebih spesifiknya dangdut koplo. Sepanjang perjalanan penumpang
akan disuguhi suara merdu dan goyang biduan dalam layar TV kecil di bagian
depan bus. Album yang diputar didominasi milik grup musik kenamaan dari
Provinsi Jawa Timur, seperti New Pallapa dan Om Sera. Lagu-lagu dari penyanyi sekaliber Didi Kempot, Nella
Kharisma, dan Via Vallen juga jarang absen dalam menemani perjalanan P.O Sumber Kencono.
Lagu-lagu menyayat hati dari para penyanyi tersebut sangat mengakomodir
seseorang yang sedang mengalami patah hati. Setidaknya bisa sejenak
melampiaskan kesedihan di tengah deru bus sambil memandang ke luar jendela. Atau
sesenggukan sambil menatap nanar anak-anak hewan kecoak yang berjalan dengan santainya di sela-sela kursi depan.
Tak jarang suara musik akan dimatikan ketika ada musisi jalanan mulai
bernyanyi atau membaca puisi. Selain penumpang mendapat hiburan dalam bentuk
lain, ada rasa saling menghargai antara kru bus dan musisi jalanan. Biasanya
mereka akan mengucapkan terima kasih terhadap kru bus yang telah mengizinkannya
berdendang di sana.
Percakapan menarik pun kerap ditemukan dalam bus ini. Seperti cerita
mengenai ‘Jokowi’. Saat bus kebetulan sampai di Solo, kondektur bus tiba-tiba
menyapa seorang penumpang di lajur sebelah saya yang ternyata adalah temannya. Penumpang
tersebut menanyakan apakah sang kondektur diundang ke acara pernikahan anak dari Jokowi (kebetulan saat itu belum lama berlangsung acara pernikahan anak perempuan Presiden Jokowi di Solo).
Sang kondektur tertegun sambil menjawab bahwa ia bukan siapa-siapa dan tak
mungkin diundang oleh presiden. Lalu penumpang
itu menimpali jika Jokowi yang dimaksud adalah adik teman sang kondektur, bukan
Presiden Joko Widodo. Tawa keduanya pun pecah dalam bus yang baru saja keluar
dari terminal.
Pernah suatu ketika sudah mendekati Yogyakarta, sang kernet tiba-tiba berteriak jika di kursi belakang ada perempuan yang pingsan.
Sang supir langsung menghentikan laju bus di depan puskesmas, dan kondektur
cekatan menggotong perempuan yang pingsan ke dalam puskesmas. Kerja sama apik semacam ini pun akan kerap ditemukan dalam
perjalanan.
Para kru juga akan saling menyapa jika berpapasan dengan bus lain dari P.O yang sama. Jika siang hari, sang supir biasanya akan melambai
ke depan. Sedangkan saat malam hari, sang kernetlah yang melambaikan tangan
sambil memegang ponsel dengan kondisi lampu layar menyala.
Seburuk apapun stigma yang melekat pada armada bus yang satu ini, mereka
telah menemani saya pada masa-masa suka, duka, dan mengantarkan saya pulang guna meredam kerinduan yang tak
kenal waktu. Mau seperti apa orang “mengatainya”, sampai sekarang bus ini masih menjadi pilihan utama saya ketika pulang. Mungkin juga menjadi pilihan banyak orang dari pelbagai rentang usia yang memerlukan moda transportasi dengan harga karcis
terjangkau, mudah ditemukan, dan cepat sampai tujuan. Semoga selanjutnya makin minus
ugal-ugalan.
(MSY/OTK)