Write it - Tentu
saja Jogja populer akan produk bakpianya. Agak mustahil rasanya untuk
memisahkan Jogja dengan bakpia, makanan yang sering kali jadi penanda bagi
orang-orang yang berkunjung ke Kota Pelajar. Gudeg juga salah satu makanan
wajib kala berkunjung ke Jogja. Namun untuk menjadikan gudeg sebagai buah
tangan terlalu riskan karena rata-rata hanya bisa betahan sehari semalam.
Kecuali, jika membeli gudeg kalengan versi baru gudeg untuk mereka yang kangen
rasa ‘manis’ Jogja. Daya tahan gudeg versi ini sangat baik mengingat telah
melalui proses pengawetan.
Menyusuri
Malioboro juga menjadi agenda wajib pelancong yang mengunjungi Jogja. Jalan
Malioboro makin ramah bagi pejalan kaki dengan ditemani penjaja kaki lima di
kanan kiri. Begitu pun dengan berbagai gerai makanan, baik berskala nasional
maupun internasional semua ikut meramaikan. Plang besar dan desain yang mencolok
pasti langsung menarik perhatian mata.
Jika
jeli, di antara kepadatan Malioboro ada satu toko kecil yang terletak tak jauh
dari gapura Kampung Ketandan, sebelah barat jalan hampir mendekati arah benteng
Vredeburg. Hanya berjarak tiga toko di utara gapura, toko roti ini bernama toko
Djoen. Awalnya kami pun agak kesulitan menemukan toko roti legendaris ini.
Beberapa kali bahkan sempat terlewatkan karena tokonya yang kecil dengan plang
yang tidak mencolok layaknya beberapa gerai mentereng di Malioboro, serta terhimpit
oleh toko-toko lain di kanan kirinya.
Namun
ada atmosfer berbeda ketika melihat plang tokonya, keriuhan Malioboro seakan
terganti dengan suasana penuh nostalgia. Plang nama toko berwarna hijau dengan
tulisan kuning keemasan yang mulai usang justru menjadi nilai lebih dibanding
plang toko lain yang terkesan “wah”. Bahkan nomor telepon yang hanya punya
empat digit angka masih terpampang di dalam plang toko. Memasuki toko dengan
bentuk ruang memanjang, sambutan nuansa lawas terasa lebih kental dengan
etalase dan rak-rak kaca berderet memenuhi dinding yang di dalamnya berjajar
aneka roti beralaskan loyang besi lawas.
Toko
yang telah buka sejak puluhan tahun lalu ini menyajikan aneka roti basah maupun
kering. Semua roti yang dijajakan merupakan roti dengan resep turun-temurun
yang tak pernah berubah. Di antaranya ada roti bantal dan roti buaya yang jadi
andalan. Ada juga roti lain seperti roti isi, ons bekuk, amandel, dan beberapa
varian roti baru yang dikembangkan seperti soes isi cokelat pisang, keju, dan
lainnya. Di toko ini kami membeli beberapa jenis roti, di antaranya roti bantal
atau roti tawar manis tanpa isi, roti buaya, roti isi ayam, serta amandel.
Suasana di dalam toko. Foto: MSY/writeitmagazine |
Roti
tawar manis punya bentuk ‘jadul’ sederhana seperti bantal dengan sekitar
delapan ‘gelombang’ yang dikemas dalam plastik transparan bersablon hijau bertuliskan
“Djoen (Lama)” serta alamatnya. Ketika mulai memakannya, saya memperoleh rasa
yang berbeda dengan roti masa kini. Rotinya tebal, teksturnya padat, namun lembut
dan sedikit kenyal. Sangat mengenyangkan tanpa rasa ‘eneg’ akibat banyak
campuran susu dan rum butter layaknya roti yang sekarang banyak dijajakan.
Aromanya pun wangi secukupnya, sama sekali tak mencirikan roti kekinian dengan
bermacam ‘rasa’ dari aroma yang menggoda. Lebih dari dua hari, kelembutan roti
ini akan sedikit berkurang menjadi agak kering. Namun tenang saja, rotinya
masih tetap padat dan kenikmatan rasanya tak berkurang.
Untuk
roti buaya, bahan yang digunakan sama dengan roti tawar manis. Rasanya pun juga
mirip. Yang sedikit membedakan adalah bentuk rotinya menyerupai buaya dan tidak
tebal. Ketika memakan roti ini kami kurang merasakan sensasi kepadatan dan
kekenyalan seperti ketika memakan roti tawar manis. Rasanya lebih ‘ringan’
dengan kulit yang lebih kering dan kesat.
Rasa
yang sedikit unik kami dapatkan ketika mencoba roti isi ayam. Bentuknya bulat
pipih, sedikit mengembang dan pas dalam genggaman. Rotinya tak jauh berbeda
dengan rasa roti tawar manis yang empuk dan sedikit kenyal, hanya minus kepadatannya.
Keunikan roti ini justru terletak pada isian ayamnya. Ketika memakan isiannya, warna
dan teksturnya mengingatkan kami dengan isian bakpia rasa kacang hijau yang
lembut dan hancur ketika dipegang, bedanya ini dengan rasa ayam. Meskipun
tekstur ayamnya seperti isian bakpia, namun sangat cocok dipadukan dengan
rotinya: gurih dan sedikit manis.
Salah
satu andalan kami di toko Djoen adalah amandel. Kue ini berupa puff pastry
dengan lembaran berlapis yang kering dan ‘padat’. Di atasnya bertabur gula
pasir, sedangkan bagian dalamnya berisi kacang giling yang rasanya manis dan
gurih. Meski kami tidak terlalu suka olahan kacang tanah, namun amandel di sini
menjadi pengecualian karena perpaduan pastry dan tekstur isiannya sangat
nikmat.
Plang Toko Djoen. Foto: MSY/writeitmagazine |
Toko
roti legendaris ini buka dari jam 12.00 sampai jam 20.00. Jika hari Minggu toko
akan buka lebih siang, sekitar jam 13.00. Meneruskan usaha keluarga dan
menggunakan resep turun temurun, kekhasan roti ini juga terletak pada cara
memanggangnya. Alih-alih menggunakan oven biasa, toko roti ini masih memakai
‘oven’ besar yang menempel di tembok. Salah seorang pembuat roti di toko Djoen
mengatakan jika oven raksasa ini berukuran sekitar 5-6 meter dan dapat muat
sekitar 60 loyang besi. Karena produksi yang sudah tak sebanyak dulu dan
mahalnya harga kayu bakar, saat ini oven besar tersebut dipanaskan dengan
memakai solar.
Setiap
harinya, roti diproduksi di pabrik yang berlokasi tepat di bagian belakang
toko. Produk roti Djoen hanya dijual di toko yang terletak di Malioboro ini
saja untuk menjaga kualitasnya. Karena tak memakai pengawet, roti yang akan kamu
nikmati rata-rata dapat bertahan 3-4 hari. Untuk roti kering bisa sampai 7 hari
dan roti yang berisi vla hanya sehari, tergantung dari jenis roti dan isian
yang dipilih. Ada baiknya sebelum membeli tanyakan terlebih dahulu waktu
pembuatan roti. Kalaupun berniat untuk tak memakannya langsung, roti yang
dibeli masih punya cukup waktu sebelum kedaluwarsa.
Harga
yang dibayarkan untuk menikmati roti penuh kenangan ini pun tak mahal.
Rata-rata berkisar empat sampai sembilan ribuan untuk roti bijian seperti roti
isi, soes, ons bekuk, amandel, dan roti buaya. Sedangkan roti berukuran besar
seperti roti kasur manis tanpa isi dibanderol 15.000 rupiah, dan yang ada
isinya 17.000 rupiah.
Tak
berlebihan rasanya ketika melihat kemasan, bentuk roti, dan aromanya, tiap gigitan
yang kamu makan cukup mumpuni untuk membawamu berpetualang ke masa lalu. Entah
yang pernah kamu alami sendiri maupun pengalaman dari menonton film ataupun
membaca buku. Sederhana, namun memuaskan.
(MSY/OTK)