-->



Theme Layout

Theme Translation

Trending Posts Display

"No"

Home Layout Display

Posts Title Display

"No"

404

We Are Sorry, Page Not Found

Home Page
Ragam Hidangan ala Toko Djoen. Foto: MSY/writeitmagazine

Write it - Tentu saja Jogja populer akan produk bakpianya. Agak mustahil rasanya untuk memisahkan Jogja dengan bakpia, makanan yang sering kali jadi penanda bagi orang-orang yang berkunjung ke Kota Pelajar. Gudeg juga salah satu makanan wajib kala berkunjung ke Jogja. Namun untuk menjadikan gudeg sebagai buah tangan terlalu riskan karena rata-rata hanya bisa betahan sehari semalam. Kecuali, jika membeli gudeg kalengan versi baru gudeg untuk mereka yang kangen rasa ‘manis’ Jogja. Daya tahan gudeg versi ini sangat baik mengingat telah melalui proses pengawetan.

Menyusuri Malioboro juga menjadi agenda wajib pelancong yang mengunjungi Jogja. Jalan Malioboro makin ramah bagi pejalan kaki dengan ditemani penjaja kaki lima di kanan kiri. Begitu pun dengan berbagai gerai makanan, baik berskala nasional maupun internasional semua ikut meramaikan. Plang besar dan desain yang mencolok pasti langsung menarik perhatian mata.

Jika jeli, di antara kepadatan Malioboro ada satu toko kecil yang terletak tak jauh dari gapura Kampung Ketandan, sebelah barat jalan hampir mendekati arah benteng Vredeburg. Hanya berjarak tiga toko di utara gapura, toko roti ini bernama toko Djoen. Awalnya kami pun agak kesulitan menemukan toko roti legendaris ini. Beberapa kali bahkan sempat terlewatkan karena tokonya yang kecil dengan plang yang tidak mencolok layaknya beberapa gerai mentereng di Malioboro, serta terhimpit oleh toko-toko lain di kanan kirinya.

Namun ada atmosfer berbeda ketika melihat plang tokonya, keriuhan Malioboro seakan terganti dengan suasana penuh nostalgia. Plang nama toko berwarna hijau dengan tulisan kuning keemasan yang mulai usang justru menjadi nilai lebih dibanding plang toko lain yang terkesan “wah”. Bahkan nomor telepon yang hanya punya empat digit angka masih terpampang di dalam plang toko. Memasuki toko dengan bentuk ruang memanjang, sambutan nuansa lawas terasa lebih kental dengan etalase dan rak-rak kaca berderet memenuhi dinding yang di dalamnya berjajar aneka roti beralaskan loyang besi lawas.

Toko yang telah buka sejak puluhan tahun lalu ini menyajikan aneka roti basah maupun kering. Semua roti yang dijajakan merupakan roti dengan resep turun-temurun yang tak pernah berubah. Di antaranya ada roti bantal dan roti buaya yang jadi andalan. Ada juga roti lain seperti roti isi, ons bekuk, amandel, dan beberapa varian roti baru yang dikembangkan seperti soes isi cokelat pisang, keju, dan lainnya. Di toko ini kami membeli beberapa jenis roti, di antaranya roti bantal atau roti tawar manis tanpa isi, roti buaya, roti isi ayam, serta amandel.

Suasana di dalam toko. Foto: MSY/writeitmagazine

Roti tawar manis punya bentuk ‘jadul’ sederhana seperti bantal dengan sekitar delapan ‘gelombang’ yang dikemas dalam plastik transparan bersablon hijau bertuliskan “Djoen (Lama)” serta alamatnya. Ketika mulai memakannya, saya memperoleh rasa yang berbeda dengan roti masa kini. Rotinya tebal, teksturnya padat, namun lembut dan sedikit kenyal. Sangat mengenyangkan tanpa rasa ‘eneg’ akibat banyak campuran susu dan rum butter layaknya roti yang sekarang banyak dijajakan. Aromanya pun wangi secukupnya, sama sekali tak mencirikan roti kekinian dengan bermacam ‘rasa’ dari aroma yang menggoda. Lebih dari dua hari, kelembutan roti ini akan sedikit berkurang menjadi agak kering. Namun tenang saja, rotinya masih tetap padat dan kenikmatan rasanya tak berkurang.

Untuk roti buaya, bahan yang digunakan sama dengan roti tawar manis. Rasanya pun juga mirip. Yang sedikit membedakan adalah bentuk rotinya menyerupai buaya dan tidak tebal. Ketika memakan roti ini kami kurang merasakan sensasi kepadatan dan kekenyalan seperti ketika memakan roti tawar manis. Rasanya lebih ‘ringan’ dengan kulit yang lebih kering dan kesat.

Rasa yang sedikit unik kami dapatkan ketika mencoba roti isi ayam. Bentuknya bulat pipih, sedikit mengembang dan pas dalam genggaman. Rotinya tak jauh berbeda dengan rasa roti tawar manis yang empuk dan sedikit kenyal, hanya minus kepadatannya. Keunikan roti ini justru terletak pada isian ayamnya. Ketika memakan isiannya, warna dan teksturnya mengingatkan kami dengan isian bakpia rasa kacang hijau yang lembut dan hancur ketika dipegang, bedanya ini dengan rasa ayam. Meskipun tekstur ayamnya seperti isian bakpia, namun sangat cocok dipadukan dengan rotinya: gurih dan sedikit manis.

Salah satu andalan kami di toko Djoen adalah amandel. Kue ini berupa puff pastry dengan lembaran berlapis yang kering dan ‘padat’. Di atasnya bertabur gula pasir, sedangkan bagian dalamnya berisi kacang giling yang rasanya manis dan gurih. Meski kami tidak terlalu suka olahan kacang tanah, namun amandel di sini menjadi pengecualian karena perpaduan pastry dan tekstur isiannya sangat nikmat.

Plang Toko Djoen. Foto: MSY/writeitmagazine

Toko roti legendaris ini buka dari jam 12.00 sampai jam 20.00. Jika hari Minggu toko akan buka lebih siang, sekitar jam 13.00. Meneruskan usaha keluarga dan menggunakan resep turun temurun, kekhasan roti ini juga terletak pada cara memanggangnya. Alih-alih menggunakan oven biasa, toko roti ini masih memakai ‘oven’ besar yang menempel di tembok. Salah seorang pembuat roti di toko Djoen mengatakan jika oven raksasa ini berukuran sekitar 5-6 meter dan dapat muat sekitar 60 loyang besi. Karena produksi yang sudah tak sebanyak dulu dan mahalnya harga kayu bakar, saat ini oven besar tersebut dipanaskan dengan memakai solar.

Setiap harinya, roti diproduksi di pabrik yang berlokasi tepat di bagian belakang toko. Produk roti Djoen hanya dijual di toko yang terletak di Malioboro ini saja untuk menjaga kualitasnya. Karena tak memakai pengawet, roti yang akan kamu nikmati rata-rata dapat bertahan 3-4 hari. Untuk roti kering bisa sampai 7 hari dan roti yang berisi vla hanya sehari, tergantung dari jenis roti dan isian yang dipilih. Ada baiknya sebelum membeli tanyakan terlebih dahulu waktu pembuatan roti. Kalaupun berniat untuk tak memakannya langsung, roti yang dibeli masih punya cukup waktu sebelum kedaluwarsa.

Harga yang dibayarkan untuk menikmati roti penuh kenangan ini pun tak mahal. Rata-rata berkisar empat sampai sembilan ribuan untuk roti bijian seperti roti isi, soes, ons bekuk, amandel, dan roti buaya. Sedangkan roti berukuran besar seperti roti kasur manis tanpa isi dibanderol 15.000 rupiah, dan yang ada isinya 17.000 rupiah.

Tak berlebihan rasanya ketika melihat kemasan, bentuk roti, dan aromanya, tiap gigitan yang kamu makan cukup mumpuni untuk membawamu berpetualang ke masa lalu. Entah yang pernah kamu alami sendiri maupun pengalaman dari menonton film ataupun membaca buku. Sederhana, namun memuaskan.

(MSY/OTK)

Leave A Reply