Write it - Pertengahan Maret tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi Surabaya, kota tempat saya menempuh pendidikan tinggi. Jika pernah atau sedang tinggal di Kota Pahlawan, makanan bernama ‘tahu tek’ tentu tak asing di telinga. Tahu telor atau biasa disebut tahu tek adalah makanan yang jamak ditemukan saat malam, baik dijajakan keliling ataupun berdiam di satu tempat. Penjual yang menjajakan tahu tek keliling biasanya tak berteriak, namun kehadirannya bisa dikenali melalui suara khas ‘tek, tek, tek’-nya.
Ada cerita menarik jika melihat hubungan antara suara yang berasal dari penjual tahu tek dengan nama makanan ini. Berdasarkan versi pertama, nama tahu tek berasal dari suara gunting yang beradu seolah-olah sedang memotong sesuatu, padahal tiap isian sudah selesai digunting. Versi lainnya menyebutkan jika nama tahu tek berasal dari suara spatula yang dipukul-pukulkan ke wajan. Entah versi mana yang benar, namun setiap penjual tahu tek selalu melakukan kedua aktivitas tersebut. Tak ayal, aktivitas menggunting tanpa ada yang benar-benar digunting dan memukulkan spatula ke wajan menjadi penanda keberadaan penjual tahu tek.
Dalam satu porsi tahu tek biasanya berisi potongan lontong, tahu, telur, kentang, dan kecambah. Kemudian di atasnya disiram dengan bumbu petis dan ditambahankan kerupuk. Tiap penjual punya rasa khas masing-masing dari tahu tek yang mereka jajakan. Rasa khas ini biasanya tergantung pada racikan bumbu yang dibuat. Tentu saja petis menjadi kunci utama dalam menu yang satu ini. Kualitas petis yang digunakan akan menentukan kenikmatan rasa tahu tek.
Nah, hal itulah yang membuat saya jatuh hati pada Tahu Telor Pak Jayen, salah satu penjual tahu tek yang tersohor di Surabaya. Petisnya terasa kuat dan ‘tebal’, kacangnya digerus dengan halus, dan bawang putihnya cukup memberikan ‘tendangan’ dalam setiap suapan. Karena memakai bawang putih mentah, biasanya bawang putih yang telah dihaluskan akan diracik ketika sudah sampai di warung. Kamu bisa menyaksikan secara langsung ketika pegawai Tahu Telor Pak Jayen mencampurkan bawang putih dengan petis dan kacang yang sudah dicampur terlebih dulu.
Untuk menambah kenikmatan rasa tahu tek, pelanggan bisa menambahkan cabai dengan jumlah sesuai selera. Karena suka pedas, biasanya saya memesan tahu tek dengan cabai berjumlah sembilan. Jumlah yang sama sejak pertama kali saya mencicipi Tahu Telor Pak Jayen. Menurut saya ini adalah takaran cabai yang pas untuk mengimbangi ketebalan petis dan kekuatan rasa bawang putihnya.
Tahu Telor Pak Jayen memiliki dua cabang. Cabang pertama berada di daerah Dharmahusada. Buka sejak tahun 2007, ‘warung’ yang ketika malam digunakan untuk berjualan tahu tek ini ketika pagi sampai sore dipakai sebagai tempat pencucian mobil umum. Meskipun berada di tempat cuci mobil, untuk urusan keramaian jangan ditanya. Sejak magrib sampai hampir larut malam warung ini terus-menerus dipenuhi pembeli. Cabang pertama ini juga menjadi tempat saya pertama kali mencicipi kenikmatan rasa Tahu Telor Pak Jayen.
Sedangkan cabang kedua yang mulai beroperasi beberapa tahun kemudian berada di sebelah barat pom bensin Jl. Dharmahusada, berada tak terlalu jauh dari cabang pertama. Tempat kedua ini berupa bangunan permanen yang terlihat lebih ‘wajar’, namun tak seluas di cabang pertama. Tempatnya juga lebih rapi seperti rumah dengan satu ruangan. Hanya saja, saya tak mendapatkan kenikmatan yang sama seperti saat menyantap tahu tek di cabang pertama. Tetapi jika tak berniat makan di tempat, dulu saya lebih memilih untuk membeli di cabang kedua karena tak perlu antre terlalu lama.
Untuk soal rasa, tak ada perbedaan dari Tahu Telor Pak Jayen di cabang pertama dan kedua. Keduanya sangat nikmat karena menggunakan racikan bumbu petis yang sama. Harganya pun tidak berbeda. Pembeda yang paling kentara hanyalah suasana tempat dan keramaian warungnya.
Mengingat Rasa Tahu Tek Pak Jayen Dulu dan Sekarang
Ketika ke Surabaya kali ini saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali mencicipi Tahu Telor Pak Jayen sambil bernostalgia. Saya mengunjungi lokasi cabang pertama karena ingin makan di tempat. Penataannya tak jauh beda dengan ingatan terakhir saya mengunjungi tempat ini. Malah sepertinya hampir tak ada yang berubah sama sekali. Bahkan keramaiannya pun masih sama.
Setelah memesan, saya mengambil
minum dan berdiri di pinggir sambil menunggu ada meja yang kosong. Tahu Telor
Pak Jayen hanya menyediakan dua jenis minuman, yaitu air mineral dan teh botol yang
dingin atau biasa. Beberapa saat kemudian pesanan saya datang, tahu tek dengan sembilan
cabai.
Porsinya masih sama seperti dulu, potongan tahu, kentang, dan telur yang besar dengan kerupuk yang menutupi seluruh permukaan tahu tek. Rasa yang saya dapatkan pun sesuai dengan rasa yang melekat di ingatan saya, masih tetap ‘nendang’. Hanya ada sedikit perbedaan dengan waktu terakhir saya menyantap Tahu Telor Pak Jayen beberapa tahun silam. Rasa bawang putihnya tak sepekat dulu. Saya justru lebih suka racikan yang sekarang karena lebih ringan dan tak terlalu menyengat dalam tiap suapan. ‘Sentilan’-nya baru akan terasa setelah selesai makan dengan meninggalkan sedikit rasa khas bawang putih di mulut.
Jika tak salah ingat, terakhir kali
saya membeli Tahu Telor Pak Jayen pada tahun 2014 harga per porsinya sekitar Rp
9 ribu – Rp 10 ribu. Sedangkan untuk saat ini seporsi Tahu Tek Pak Jayen
dihargai Rp 15 ribu. Dengan rasa yang hampir tidak mengalami perubahan, rasa
kangen saya terhadap kenikmatan Tahu Tek Pak Jayen pun akhirnya terobati.
(MSY/OTK)