Write it - Sedikit menepi dari Kota Jogja, kami mengunjungi Warung Makan Nasi Jaya yang terletak di Jalan Kebon Agung, Dusun Bedingin, Desa Sumberdadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Warung makan ini berjarak sekitar 30 menit dari pusat Kota Jogja. Meski memiliki spanduk dan plang nama yang cukup besar, bentuk warung yang nampak seperti rumah dan berada di jalan yang agak menikung kadang luput dari pandangan. Sebagai patokan, warungnya terletak di sebelah barat warung Ingkung Mbak Sri.
Bangunan Warung Berusia Lebih dari Setengah Abad
Memasuki warung ini seolah sedang
berkunjung ke “rumah nenek”. Bangunannya seperti rumah lawas yang nampak biasa
di luar namun terasa lapang ketika masuk ke dalamnya. Memiliki desain
arsitektur khas Jawa, rumah ini berbentuk joglo dengan enam tiang terletak di
tengah. Ruangannya tidak bersekat kecuali bagian belakang ruangan yang disekat
kayu dengan tiga pintu, sama dengan pintu bagian depan rumah. Biasanya ruangan
di balik pintu pada bangunan rumah khas Jawa seperti ini digunakan sebagai
kamar atau senthong.
Di tengah ruangan tertata beberapa
meja kayu panjang berlapis vinil dengan kursi plastik. Sedangkan pada bagian
sebelah kanan terdapat meja kasir dan beberapa etalase untuk menyimpan makanan.
Tepat di depan etalase, aneka jajanan pasar dan penganan tradisional tertata
rapi di atas meja.
Satu hal baru yang kami temukan di sini
adalah langit-langit rumah yang unik. Rumah berbentuk joglo biasanya
menggunakan langit-langit rumah berbahan gedhek
atau anyaman bambu atau justru tak menggunakan plafon sama sekali. Namun plafon
di rumah ini berasal dari bambu yang disusun rapi seperti kerai dan nampak
begitu kokoh.
Mbah Endro, sang empunya mengatakan
jika bangunan warungnya sudah berusia 60 tahun. Menurut Mbah Endro, Warung Makan
Nasi Jaya telah berdiri selama 85 tahun−meski di plang depan warung tertulis
sejak tahun 1940 atau berusia 81 tahun. Sebelum menempati bangunan saat ini,
Warung Makan Nasi Jaya berlokasi di daerah sebelah barat warung baru.
Mbah Endro bercerita jika beliau adalah
generasi kedua pemilik warung. Sedangkan pendiri Warung Nasi Jaya adalah orang
tua sang suami atau mertuanya yang sebelumnya berjualan selama 35 tahun.
Setelah itu Mbah Endro melanjutkan tongkat estafet dan kini sudah berjualan
selama 50 tahun, sama seperti usia sang anak pertama.
Paduan Soto Ayam dan Lauk Ayam Opor Menghasilkan Rasa yang Unik
Saat memesan makanan, biasanya Anda
akan dilayani langsung oleh Mbah Endro yang duduk di kursi dengan dikelilingi
aneka lauk pauk. Pilihan menu di warung ini beragam, mulai dari soto ayam,
mangut lele, pecel, dan nasi rames dengan beragam sayur serta lauk. Namun
andalan warung ini adalah soto ayam dan mangut lele.
Kami memesan soto ayam dengan tambahan
lauk. Mbah Endro menawarkan dua pilihan lauk, yaitu ayam kampung opor atau ayam
potong goreng. Pilihan kami jatuh pada ayam kampung opor. Paduan antara soto
dan opor yang sangat jarang kami temukan tentu sayang untuk dilewatkan.
Tak berhenti sampai di situ, wadah makan yang digunakan warung ini pun terbilang unik untuk wilayah Jogja. Soto ayam ala Warung Makan Nasi Jaya disajikan di piring, bukan menggunakan mangkuk layaknya soto kebanyakan. Cara penyajian ini mengingatkan kami pada acara selamatan di salah satu daerah di Jawa Timur bagian barat yang juga menggunakan piring sebagai wadah soto.
Sepiring soto ayam terdiri dari nasi, suwiran ayam yang cukup banyak, satu perkedel kentang ukuran kecil, tempe bacem, soun, taoge kacang hijau, taburan bawang merah goreng dan daun seledri yang telah dicincang kasar, serta ditambah sambal tomat matang. Tak lupa tambahan lauk ayam opor yang melebihi ekspektasi kami. Ayam opor bagian dada yang disajikan ternyata berukuran cukup besar, hampir setelapak tangan orang dewasa. Lauk ayam ini cukup mendominasi ruang yang terdapat dalam satu piring soto ayam pesanan kami.
Agak sulit mencari bagian soto yang mungkin belum tercampur dengan kuah opor. Entah karena sudah tercampur kuah opor atau memang bumbu dasar soto juga memakai santan, kuah soto nampak agak keruh dan terlihat “pecahan” santan tipis. Rasa sotonya cenderung manis, sedikit berminyak, agak kental tapi tidak enek. Hampir tak ada rasa kunyit di dalam kuah soto ini. Sedangkan rasa opornya sendiri cenderung gurih, manis dan agak asin.
Rasanya tak ada yang istimewa saat mencicipi masing-masing makanan secara terpisah. Namun kenikmatan menu ini akan muncul setelah Anda memakannya secara bersamaan.
Saat kuah soto dan opor dicampur, rasa opor yang bersantan tipis lebih mendominasi. Namun ketika telah mencampurkan semua isian seperti nasi, soto, opor, sambal tomat, dan perkedel cita rasa yang timbul sangat unik. Bukan dalam konotasi negatif namun rasa baru yang muncul cukup kaya dan tak membosankan saat disantap.
Rasa soto yang tipis dan agak manis mampu meredam dominasi asin kuah opor sehingga menyisakan rasa gurih yang tak berlebihan. Apalagi ditambah dengan sambal tomat matang dan perkedel bertekstur lembut; rasa gurih, asin, dan manis bercampur menjadi satu. Rasa yang dihasilkan pun sangat pas, seperti menikmati paduan aneka hidangan buatan rumah.
“Gong” dalam menu ini adalah opor ayam kampung. Meski berukuran besar, tetapi dada ayamnya sangat empuk tanpa menghilangkan tekstur serat khas daging
ayam kampung. Bumbu opornya pun meresap hingga ke dalam, menghasilkan rasa
daging ayam yang manis dan lezat.
Tanpa perlu menambahkan kecap, perpaduan antara kuah soto dan opor dengan berbagai isian tersebut sudah menghasilkan rasa yang sangat pas bagi lidah kami. Namun jika Anda pencinta manis, tak ada salahnya menambahkan kecap sedikit saja. Sebab penambahan kecap manis yang agak banyak dapat mengubah rasa dan merusak keharmonisan dalam sepiring soto ini.
Sayangnya ada satu hal yang terasa kurang. Saat disajikan kuah soto tidak begitu panas dan cenderung hangat. Bisa jadi karena kami datang menjelang waktu tutup warung, sehingga kompor kecil yang bertugas memanasi satu panci besar kuah soto di dekat etalase sudah tak menyala. Bukan hal aneh sebab Warung Nasi Jaya sudah buka mulai subuh, yaitu pukul 05.00 sampai 15.00 WIB.
Satu porsi soto ayam sudah termasuk
perkedel dihargai Rp10 ribu. Sedangkan sepiring soto dengan tambahan lauk ayam
kampung opor seperti yang kami pesan dibanderol Rp30 ribu. Untuk satu ayam
potong goreng harganya Rp15 ribu.
Harga yang ditawarkan tersebut
cukup murah mengingat besarnya potongan ayam yang disajikan. Apalagi saat
membayar Mbah Endro tak menghitung es teh yang kami pesan. Entah karena sudah
termasuk ke dalam paket soto plus ayam kampung atau memang kami cukup beruntung
sebab warung segera tutup dan kami adalah pelanggan terakhir yang tersisa pada hari itu.
Segenap keramahan Mbah Endro dan
staf dapur yang membantu membuat pengalaman mengunjungi warung ini terasa seperti
“pulang”. Makin lengkap dengan tambahan menu makanan penggugah
selera dan suasana warung yang nyaman. Oh ya, jika beruntung
mungkin Anda akan menemukan pemandangan saat Mbah Kakung, suami Mbah Endro menemani dengan duduk di kursi di
belakang meja kasir. Atau saat Mbah Endro sedang beristirahat dan duduk di
sebelah sang suami. Sore kami makin hangat kala itu.