Write
It – Cuaca pada hari pertama kuartal keempat 2019 kala itu cukup terik. Setelah melewati jalanan yang berkelok-kelok, kami sampai
di Desa Sidomukti yang terletak di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa
Timur. Berjarak sekitar 30 menit perjalanan dari Alun-Alun Magetan. Udara segar
khas daerah kaki gunung langsung menyambut begitu sampai di desa ini.
Tepat
di seberang gerbang Balai Desa terdapat tulisan ‘Kampung Batik Sidomukti’
berwarna merah kuning dengan hiasan bambu atau pring kuning di kanan kirinya. Di belakangnya hamparan sawah yang
ditanami kubis, jagung dan pelbagai tanaman lain begitu menyejukkan mata.
Arahkan pandangan ke barat, Gunung Lawu berdiri gagah mengayomi wilayahnya.
Memasuki
Balai Desa, Anda langsung disambut dengan pajangan kain batik bermotif pring yang dibentuk kipas memenuhi
dinding. Di sebelah kanan tertulis ‘Galeri Batik’ yang menampilkan beberapa
kain maupun kemeja bermotif batik pring di dalam etalase kaca. Di sebelahnya
terdapat pintu masuk ke sebuah ruangan kecil dengan stok batik pring lebih
banyak.
Dinding dalam ruangan ini juga dihiasi kain batik pring beraneka motif dan warna. Etalase kaca dengan koleksi kain yang lebih lengkap tersedia di sini. Di pojok ruangan terdapat deretan kain dan kemeja batik yang tertata apik. Di sini Anda bisa sepuasnya memilih produk batik pring sesuai selera dan kebutuhan dibantu staf yang ramah.
Puas memilih batik, Anda dapat menuju pintu bertuliskan ‘Ruang Produksi’ untuk melihat proses pembuatan batik pring secara langsung. Ruangan yang cukup luas ini dipenuhi dengan pelbagai perlengkapan membatik seperti tiang atau gawangan untuk membentangkan kain yang akan dibatik, canting, pewarna, kolam kecil untuk kunci warna, serta perkakas pendukung lain. Beberapa ibu-ibu juga tengah sibuk mempersiapkan kain batik dan bergegas memulai kembali pekerjaannya.
Ibu-ibu di sini sangat ramah menyapa dan menjawab pertanyaan pengunjung. Kami pun berkesempatan berbincang dengan Ibu Sri, salah satu pembatik anggota Kelompok Batik Mukti Lestari Sidomukti. Sambil mengoleskan warna dengan rapi dan cekatan, Ibu Sri meladeni rasa penasaran kami dengan sabar.
Kelompok Batik Mukti Lestari Sidomukti
Sebelum mulai membatik, pekerjaan mayoritas masyarakat Sidomukti adalah bertani dan pengrajin anyaman bambu. Produk anyaman tersebut umumnya berupa capil yang biasa digunakan oleh petani. Ada juga yang membuat kerajinan roti bolu khas Magetan. Ibu Sri menerangkan jika di desanya terdapat banyak home industry.
Kelahiran kelompok batik ini bermula dari pelatihan yang diberikan oleh Disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan) lebih dari satu dekade lalu. Selama kira-kira 10 kali pertemuan, masyarakat Sidomukti diajari sampai benar-benar bisa membatik. Kelompok Batik Mukti Lestari Sidomukti merupakan kelompok pembatik kedua yang berdiri di desa ini.
Di
Sidomukti ada tiga kelompok pembatik, Mukti Rahayu, Mukti Lestari, dan Seruling
Etan. Kelompok pembatik yang pertama kali berdiri di Sidomukti adalah Mukti
Rahayu di Papringan. Usia Mukti Rahayu terpaut sekitar sepuluh tahun lebih tua
dari Mukti Lestari, sedangkan yang termuda adalah Seruling Etan di Kalitengah.
Semua kelompok pembatik ini dikelola oleh penduduk setempat.
Menurut
Ibu Sri, Kelompok Batik Mukti Lestari Sidomukti berdiri sejak tahun 2006.
Sedangkan galeri batik yang berada di depan baru ada sekitar satu tahun
belakangan. Usaha batik yang ada di sini milik kelompok. Seluruh staf yang
bekerja adalah juga pemilik yang merupakan warga asli Desa Sidomukti. Sehingga
bukan milik perorangan, melainkan usaha batik ini dijalankan oleh koperasi Desa
Sidomukti.
Proses Pembuatan Batik Pring Sidomukti
Kampung
Batik Sidomukti banyak memproduksi batik tulis. Batik tulis dikenal sebagai
batik berharga mahal karena buatan tangan dan proses produksinya memakan waktu
lama. Hal ini juga diakui oleh Ibu Sri. “Yang bikin mahal batik tulis itu
prosesnya lama mbak,” katanya sambil bersiap melakukan pewarnaan motif dengan
dua ibu-ibu lain. Ibu Sri lalu menjelaskan secara detail proses pembuatan batik
tulis bermotif bambu atau dalam bahasa Jawa disebut pring ini.
Pada
mulanya kain putih yang biasanya berjenis primisima atau poplin digambari dengan menggunakan pensil.
Setelah selesai, garis gambar tersebut kemudian dicanting menggunakan malam
yang berfungsi sebagai pembatas antar warna dan motif. Proses mencanting
membutuhkan waktu lama sebab satu kain hanya dapat dikerjakan oleh satu orang.
Dalam sehari biasanya dapat menghasilkan dua lembar kain yang sudah dicanting.
Berbanding
terbalik dengan mencanting, proses pewarnaan dasar yang merupakan tahapan
selanjutnya justru harus dilakukan minimal oleh empat orang untuk satu kain.
Proses pewarnaannya pun mesti dikerjakan dalam waktu bersamaan agar tak belang.
Pewarnaan dasar dilakukan dengan cara blok warna (dikuas) pada sisa area luas
tanpa motif. Jika mewarnainya tak cepat dan bersamaan, maka proses keringnya
juga tidak serentak sehingga hasilnya akan belang seperti ada garis-garis
pembatasnya.
Seusai
pewarnaan dasar kain kemudian diangin-anginkan selama sehari semalam. Tahapan
selanjutnya setelah warna dasar kering adalah pewarnaan motif. Berbeda dengan
dua proses sebelumnya, proses ini bisa dikatakan lebih fleksibel karena bisa
dilakukan oleh satu orang maupun dua orang atau lebih. Ini karena bagian yang
diwarnai jauh lebih kecil dan sudah ada pembatas malam sehingga tak perlu takut
belang jika keringnya tak bersamaan. Ibu Sri mengatakan jika dalam sehari
kelompoknya rata-rata menghasilkan 20-30 potong kain untuk proses pewarnaan.
Setelah
pewarnaan motif selesai, kain kembali diangin-anginkan semalaman sampai warna
kering lalu dilakukan proses kunci warna. Kunci warna memakai waterglass, yaitu berbentuk cairan
kental dan lengket yang akan melapisi dan menyegel warna agar tidak luntur.
Kemudian kain kembali diangin-angin selama sehari semalam lalu dicuci.
Tahap
terakhir adalah dilorot atau
perebusan kain untuk melunturkan malam yang menjadi pembatas motif. Selesai dilorot kain kembali dicuci lalu
diangin-anginkan sampai kering. Garis pada malam yang sebelumnya berwarna
kuning akan kembali menjadi putih seperti warna asal kain. Perlu diketahui jika
seluruh proses menjemur cukup dengan diangin-anginkan, tak perlu terkena sinar
matahari langsung. Setelah melewati tahapan panjang tersebut, kain batik pring
sudah jadi dan siap digunakan.
Batik Pring Sidomukti Makin Dikenal dan Dipakai oleh Segala
Kalangan
Batik
pring ini pada mulanya hanya dipakai oleh kalangan terbatas seperti pada
instansi pemerintahan maupun instansi pendidikan di Kota Magetan. Namun,
sekarang batik pring mulai dikenakan oleh berbagai kalangan. Tak hanya
instansi, perorangan pun jamak memakai batik pring dalam berbagai keperluan.
Semakin
beragamnya motif bisa jadi salah satu penyebab ketertarikan masyarakat umum tak
segan mengenakan batik pring. Ibu Sri mengatakan jika Kelompok Batik Mukti
Lestari mendesain sendiri batik yang mereka buat. Dalam sebulan kadang ada dua
motif anyar, namun juga terkadang dua bulan baru membuat motif baru. Tidak ada
patokan khusus berkaitan dengan pembaruan motif. Meskipun muncul motif baru,
motif lama juga masih tetap dibuat.
Selain
motif pring-nya, Batik Pring
Sidomukti memiliki ciri khas lain yaitu warnanya yang ngejreng atau mencolok. Bukan tanpa alasan, warna-warna yang
mencolok justru diminta oleh pembeli. “Kalau warnanya soft kurang ada yang minat,” ujar Bu Sri.
Warna
yang mencolok tersebut diperoleh dari sistem pewarnaan remasol. Tak perlu kena
sinar matahari, warna yang dihasilkan dari menggunakan sistem ini sudah bisa
langsung terlihat. Sistem remasol juga
cenderung bagus karena menghasilkan warna yang tajam.
Untuk banyaknya warna dalam sepotong kain batik pring tergantung permintaan konsumen. Kadang ada yang menginginkan hanya dua warna, namun tak sedikit juga yang menginginkan variasi warna. Begitu pun dengan ukuran kain. Anda bahkan bisa memesan ukuran kain jumbo sesuai permintaan.
Kain batik pring umumnya memiliki ukuran lebar sama yaitu 1,15 meter, sedangkan panjangnya tergantung rencana penggunaan kain. Ukuran standar panjangnya ada dua pilihan. Jika akan dipakai untuk membuat baju maka pilih yang panjangnya 2,25 meter. Namun kalau digunakan untuk jarik, kain dengan panjang 2 meter pun cukup.
Memiliki
kain batik tulis sebagai koleksi juga perlu memperhatikan perawatannya agar
awet. Untuk pencucian lebih baik menggunakan lerak—sejenis buah—agar warnanya
bisa makin tajam. Namun saat ini buah lerak sulit ditemui. Sekarang justru
banyak tersedia olahan lerak dalam bentuk cair yang bisa langsung digunakan.
Ada
solusi lain jika ingin mencuci kain batik namun sulit menemukan lerak.
Alih-alih menggunakan detergen bubuk lebih baik memakai sabun colek. Sebab
detergen bubuk bersifat lebih keras sehingga bisa menyebabkan warna kain batik
luntur ataupun pudar. “Jadi bikin cepet mbulak
mbak,” pungkas Ibu Sri.
Kekhasan
motif batik ini tentu memberikan warna baru pada kekayaan daerah Magetan. Bagaimana
tidak, motif pring didapat dari
keadaan desa setempat tempat batik ini muncul, yaitu Dusun Papringan, Desa Sidomukti
di mana di sekitar desanya masih banyak ditumbuhi pohon-pohon bambu yang punya segudang
manfaat. Bisa dikatakan motif batik pring
berasal dari kearifan budaya lokal, yaitu pohon bambu yang banyak tumbuh di
sekitar Dusun Papringan. Selanjutnya ide awal ini akan dipadukan dengan motif
lain dari kekayaan alam Magetan, misalnya jalak lawu serta dipoles dengan aneka
warna yang segar.
Bagaimana,
tertarik mengunjungi dan memakai produk khas Magetan yang satu ini?
(MSY/OTK)